ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN PADA PUSKESMAS KECAMATAN CEMPAKA PUTIH
Abstract
Kepuasan konsumen merupakan kesan yang diberikan terhadap penggunajasa yang mendapatkan pelayanannya. Jika pengguna jasa merasa puas maka berapapun nilai yang diberikan akan disanggupinya dan kemajuan serta perkembangan pun tercapai. Sebaliknya,jika timbul ketidakpuasan maka kesan tidak baik, dan keuntungan pun akan hilang. Penelitian ini dilakukan terhadap pasien di Puskesmas Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Penelitian ini dilakukan terhadap 100 orang responden dengan memberikan kuesioner. Alat analisis yang digunakan adalah Metode Chi Square dan Skala Likert. Hasil dengan menggunakan metode Chi Square menunjukkan nilai x2 hitung sebesar 1422,49 lebih besar dari nilai x2 tabel yaitu 26,296 dengan tingkat kepercayaan 5%. Ini berarti konsumen Puskesmas Kecamatan Cempaka Putih Jakarta Pusat merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan.Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Pertama dan Kedua
OPINI | 08 December 2012 | 23:07
Dibaca: 3844 Komentar: 0 0
Abstrak
Pengajaran bahasa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua. Ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan budaya. Salah satu unsur budaya yang dicetuskan oleh Koentjaraningrat yaitu bahasa. Indonesia memilki banyak bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari dasar ini, posisi bahasa Indonesia yang secara politis merupakan bahasa negara dan bahasa pemersatu bangsa memilki peran yang sangat startegis di samping mempertahankan bahasa-bahasa daerah.
Dalam bahasa pertama, seringkali terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dll. Sedangkan pada daerah-daerah lain masih bisa mempertahan bahasa daerahnya. Setidaknya terdapat beberapa pendekatan yang menunjang pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan, untuk pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua terdapat faktor-faktor penentunya.
Proses belajar-mengajar bahasa, baik bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua, perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik yang dapat menentukan keberhasilan dalam proses mempelajari bahasa. Kedua variabel tersebut bukan merupakan hal yang terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.
Kata Kunci: Pengajaran bahasa Indonesia, perspektif, linguistik, nonlinguistik.
A. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, bahasa ini diciptakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, dan bahasa. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, setiap orang yang berasal dari daerah yang berbeda dapat saling memahami satu sama lain, karena mereka berkomunikasi menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Bayangkan bagaimana bahasa Indonesia tidak ada? Mereka sudah pasti akan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Bahasa Indonesia selain sebagai pemersatu, juga sebagai salah satu budaya Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa di kancah internasional
Bahasa Indonesia sendiri telah mengalami berbagai lika-liku serta memliki sejarahnya tersendiri. Meunurut Rosidi (2010: 9), sehari setelah proklamasi kemeredekaan tanggal 17 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemeredekaan Indonesia, disahkanlah konsep yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, menjadi UUD 1945, setelah dilakukan beberapa perubahan dan pencoretan. Di dalam UUD 1945 itu, tercantum dalam pasal 36, kedudukan bahasa Indonesia ditetapkan: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dipandang ke dalam dua perspektif. Yang pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, dan yang kedua, bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Tantangan muncul ketika pengajaran atau pemerolehan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di tengah-tengah upaya harus melestarikan bahasa pertama atau biasa disebut dengan bahasa ibu. Konon, jumlah bahasa ibu di negara kita ini paling banyak di seluruh dunia, artinya bahasa ibu yang terdapat di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang terdapat di negara-negara lain, yaitu lebih dari 700 macam bahasa.
Inilah yang membuat kita sebagai pemakai bahasa Indonesia dapat menempatkan diri, sehingga bahasa Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya tanpa melupakan bahasa daerah setiap daerah atau bahasa ibu. Fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bentuk upaya mempersatukan bangsa. Meskipun berbeda-beda dalam berbahasa daerah, namun semua itu dapat bersatu dengan menggunakan bahasa Indonesia.
B. Tipe pembelajaran Bahasa
Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 324), menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama, tipe naturalistik yaitu bersifat alamiah, tanpa guru, serta tanpa kesengajaan. Pembelajran dalam tipe ini terjadi dalam lingkungan suatu masyarakat. Seorang anak yang di dalam lingkungan keluarganya menggunakan bahasa pertama (B1), misalnya bahasa Jawa, begitu keluar rumah berjumpa dengan teman-temannya yang berbahasa lain, misalkan bahasa Indonesia, maka si anak tersebut akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kasus lain, terdapat dua mahasiswa dari Ambon, Alex dan Edo yang berkuliah di Yogyakarta. Pada awal kedatangannya di Yogyakarta, mereka belum bisa sama sekali berbahasa Jawa. Namun, karena orang-orang di sekitarnya menggunakan bahasa Jawa, maka mereka berdua berusaha belajar bahasa Jawa, meskipun pada awalnya bahasa Jawa mereka masih beraksen bahasa Ambon. Tetapi, setelah dua tahun berjalan, aksen bahasa Ambon sudah mulai berkurang. Jadi, belajar bahasa menurut naturalistik sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama, hanya saja proses berlangsungnya bersifat ilmiah, karena tuntutan, dan akhirnya terbiasa.
Tipe kedua, yaitu tipe formal berlangsung di dalam kelas. Berbeda dengan di atas, bahwa tipe ini seharusnya hasil yang diperoleh lebih baik dari tipe naturalistik, karena dalam tipe formal ini segalanya sudah dipersiapkan, dengan adanya guru, materi, alat-alat bantu belajar, dsb. Namun, kenyataan di negara ini berbicara lain. Berbagai penyebab telah teridentifikasi dan perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya sama saja. Kita lihat saja ketika Ujian Nasional diselenggarakan, dalam pelajaran Bahasa Indonesia sangat jarang ditemukan siswa yang memperoleh nilai sempurna. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain (baca: ilmu eksak), bahasa Indonesia kehilangan wibawanya sebagai bahasa sendiri dan bahasa unggulan. Menurut Chaer (2009: 244), kalau dilacak mengapa pendidikan bahasa zaman Belanda dulu “berhasil” sedangkan pendidikan bahasa kedua sekarang (bahasa Indonesia atau bahasa Inggris) tidak atau kurang berhasil, penyebabnya karena terletak pada faktor kedisiplinan. Pendidikan bahasa kedua pada zaman Belanda dilakukan oleh guru yang pandai berbahasa Belanda. Sedangkan pendidikan bahasa kedua pada masa kini dilakukan tanpa disiplin. Hadirnya berbagai jurusan dan fakultas yang didominasi ilmu bahasa seharusnya bisa meningkatkan mutu pendidik di masa mendatang.
C. Pemerolehan Bahasa Pertama
Bahasa pertama seringkali disebut dengan bahasa ibu. Penggunaan istilah bahasa ibu perlu mendapatkan koreksi karena dalam hal ini terdapat berbagai kasus yang pada akhirnya menggugurkan istilah bahasa ibu. Kasus yang sering terjadi yaitu di berbagai kota besar yang multilingual seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dsb. bahasa ibu bukanlah bahasa apa yang digunakan atau dikuasai oleh si ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan suami-istri yang memilki bahasa daerah yang berbada-beda, tapi si anak sudah tidak diajarkan lagi bahasa daerah (bahasa si ayah atau ibu), namun si anak sudah mulai diajarkan bahasa Indonesia. dengan demikian bahasa ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa yang digunakan oleh ibu bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.
Gelombang penelitian dalam pemerolehan bahasa anak-anak ini mendorong para guru bahasa dan pendidik untuk mempelajari beberapa temuan umum demi membuat perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua (Brown, 2007: 26). Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa pendekatan yang menunjang pemerolehan bahasa pertama, yaitu pendekatan bahavioristik, Nativis, dan Fungsional.
1. Pendekatan Behavioristik
Menurut Brown (2007: 28), bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia, dan para psikolog behavioristik menelitinya dalam kerangka itu dan berusaha merumuskan teori-teori konsisten tentang pemerolehan bahasa pertama. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa Pertama) dan B2 (Bahasa Kedua) sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi ada pula yang tidak. Pendekatan behavioristik terfokus pada aspek-aspek yang dapat ditangkap langsung dari perilaku linguistik dan berbagai hubungan atau kaitan antara respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Seorang behavioris memandang perilaku bahasa yang efektik sebagai wujud tanggapan yang tepat terhadap stimuli. Jika sebuah respon tertentu dirangsang berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau terkondisikan.
Begitu juga jika dikaitakan dalam memperlajari bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Jika orangtua sama-sama bertutur bahasa Indonesia, begitu juga dengan teman-temannya, dan penyampaian bahasa Indonesia dalam sekolah. Maka, akan semakin terbiasa si anak tersebut sehingga dalam mempelajari bahasa Indonesia akan terkondisikan secara sendirinya.
2. Pendekatan Nativis
Istilah ini hadir, karena diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita (Brown, 2007: 30).
Teori ini juga mendapat dukungan dari tokoh linguistik terkenal, yaitu Noam Chomsky dengan alirannya transformasional. Menurut Soeparno (2002: 53), aliran transformasional merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Karena konsep strukturalisme mensyaratkan bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit) seperti halnya dalam pendekatan behavioristik di atas.
Dalam pandangan Chomsky, dalam otak manusia terdapat sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau LAD (Language Acquisition Device). Mc Neill (dalam Brown, 2007: 31), memaparkan bahwa terdapat empat perlengkapan linguistik dalam LAD tersebut, yaitu kemampuan membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar; kemampuan menata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian; pengetahuan bahwa hanya jenis sistem linguistik tertentu yang mungkin sedangkan yang lain tidak; dan yang terakhir, kemampuan untuk terus mengevaluasi sistem linguistik yang berkembang untuk membangun kemungkinan sistem paling sederhana berdasarkan masukan linguistik yang tersedia. Berpegang pada LAD tersebut, para peneliti mulai berasumsi bahwa manusia secara genetik dilengkapi kemampuan yang memungkinkan mereka menguasai bahasa dengan mengajukan sebuah sistem kaidah bahasa universal.
3. Pendekatan Fungsional
Pendekatan terakhir ini menekankan bahwa kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh kaum nativis adalah abstrak, formal, eksplisit, dan sangat logis, tetapi baru bersentuhan dengan bentuk-bentuk bahasa dan tidak menghiraukan makna. Makna di sini merupakan tataran fungsional yang lebih mendalam yang terbangun dari interaksi sosial. Contoh bentuk dalam bahasa yaitu mulai dari fonem sampai dengan kalimat serta kaidah-kaidah yang mengaturnya.
Dalam hal ini, pendekatan ini lebih mengutamakan bahwa bahasa tersebut haruslah dikaitkan dengan konteks sosial yang bersifat pragmatis yang penuh dengan bentuk-bentuk. Seorang anak yang keseharian dirumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indoensia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205).
D. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama
Dalam pengamatan umum, anak-anak adalah peniru yang baik. Segala sesuatu yang ia dilakukan adalah tiruan dari orang-orang di sekitarnya, senantiasa ia cermati dan kemudian akan ditirukan sama seperti apa yang dilihatnya. Begitu juga dengan bahasa, jika di dalam rumah menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, maka tidak heran si anak akan mudah meniru apa yang dikatakan oleh anggota keluarganya. Kita lihat saja di dalam kota-kota besar seperti Jakarta, anak-anak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama di samping orangtua mereka telah memilki bahasa pertama masing-masing.
Menurut Brown (2007: 47), tahap-tahap paling dini pemerolehan bahasa anak-anak memunculkan banyak sekali peniruan karena bayi mungkin tidak menguasai kategori-kategori semantik untuk memaknai ujaran. Namun, mereka memiliki rasa perhatian terhadap orang-orang di sekitar mereka, jadi mau tidak mau akan menirukan ujaran orangtuanya.
Proses belajar-mengajar bahasa di dalam kelas secara berturut-turut akan dijumpai 1) murid; 2) guru; 3) bahan pelajaran; dan 4) tujuan pengajaran. Keempat variabel tersebut memiliki hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia. variabel-variabel tersebut menentukan keberhasilan belajar berbahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yaitu, ketika memang lingkungan tempat tinggal dan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lain pada saat di sekolahan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa serta upaya pelestarian dari bahasa nasional selayaknya harus dijunjung tinggi dan tidak ada rasa bosan apalagi jenuh dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis juga merupakan variabel yang dapat memengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205). Contohnya, ketika ada siswa yang keseharian di rumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indonesia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya tidak menggunakan bahasa Indonesia.
E. Pemerolehan Bahasa Kedua
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 215), dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua (dan mungkin ketiga). Bahkan bahasa kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk asli pribumi). Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan).
1. Faktor-Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
Dari berbagai hipotesis yang berkembang, dapat ditentukan beberapa faktor yang dapat menentukan keberhasilan bahasa kedua, yaitu faktor motivasi, usia, penyajian formal, bahasa pertama, serta lingkungan.
a. Faktor Motivasi
Terdapat asumsi bahwa jika kita mau belajar suatu bahasa kedua, maka yang diperlukan adalah adanya dorongan, keinginan, atau tujuan yang hendak dicapai. Ini akan berbeda jika dibandingkan dengan orang yang tanpa lindasi dorongan, keinginan, serta tujuan atau motivasi. Menurut KBBI (2008), motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Jadi, pada dasarnya motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa dorongan yang datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan ia memilki keinginan yang kuat untuk mempelajari bahasa kedua.
Menurut Gardner dan Lambert (dalam Chaer: 2009: 251), motivasi memiliki dua fungsi yaitu, fungsi integratif dan instrumental. Fungsi integratif yaitu jika motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan, motivasi berfungsi instrumental adalah jika motivasi tersebut mendorong sesorang memilki kemauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada masyarakat bahasa tersebut.
b. Faktor Usia
Terdapat anggapan bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak-anak lebih baik dan berhasil dari pada orang dewasa (jika dimulai dari sama-sama nol). Ini membuktikan bahwa ternyata selain faktor motivasi, ternyata faktor usia juga ikut andil dalam keberhasilan mempelajari bahasa kedua. Anak-anak sepertinya lebih mudah untuk cepat memahami, sedangkan orang dewasa tampaknya lebih kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli (Chaer, 2009: 253), memperoleh kesimpulan bahwa faktor umur (usia) yang tidak dipisahkan dengan faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran bahasa kedua. Perbedaan umur memengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis, tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.
c. Faktor Penyajian Formal
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, bahwa dalam tipe pembelajaran bahasa terdapat dua jenis, yaitu secara naturalistik dan formal di dalam kelas. Dalam hal ini, faktor formal dalam pendidikan di sekolah akan sangat berpengaruh dalam hal pembelajaran bahasa kedua. Bahasa kedua bisa diorientasikan ke dalam bahasa Indonesia, bisa juga bahasa asing (jika bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama). Tipe ini berlangsung secara formal, artinya segala sesuatunya sudah dipersiapkan secara lebih baik. Dengan adanya guru, materi yang terorganisir, kurikulum, metode, media belajar, dsb.
Faktor ini memilki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan secara sengaja sehingga tujuan akan cepat terpenuhi. Menurut Rofi’udin (dalam Chaer: 2009: 256), menyatakan bahwa interaksi kelas merupakan bagian dari pembelajaran bahasa kedua secara formal dapat memberikan pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan bahasa kedua. Interaksi kelas, selain itu juga dapat mendukung proses penyerapan input menjadi intake.
d. Faktor Bahasa Pertama
Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 256), para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu, bahasa daerah, atau bahasa yang sebelumnya diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar. Hal ini karena didasarkan oleh sikap pembelajar yang secara sadar maupun tidak, telah melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, sering terjadi interferensi, alih kode, atau campur kode.
Dalam pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Menurut Chaer (2010), masalah ini mungkin tidak terlalu berat, kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih tergolong bahasa serumpun (secara genetis) tetapi akan merupakan masalah besar kalau bahasa kedua itu tidak serumpun dengan bahasa pertama. Lebih lagi jika bahasa kedua itu memilki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan bahasa pertama.
Menurut teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh kaum bahaviorisme, bahasa adalah hasil dari perilaku stimulus-respon. Jadi, bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar sekali apabila si pembelajar tidak terus-menerus diberikan stimulus bahasa kedua. Secara teoritis pengaruh ini memang tidak bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah merupakan merupakan intake atau sudah “dinuranikan” dalam diri si pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasaan dan pemberi stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, maka pengaruh itu bisa dikurangi (Chaer, 2010).
Yang selanjutnya, adalah teori kontrastif. Dalam teori ini dikatakan bahwa keberhasilan sebuah pembelajaran bahasa kedua ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar (Klein, dalam Chaer, 2009: 256). Teori kontrastif mengisyaratkan bahwa semakin besar perbedaan antara linguistik bahasa pertama dengan linguistik bahasa kedua, maka semakin besar kesulitan yang dihadapi si pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua. Melalui teori ini, maka dapat diketahui tingkat kesamaan dan perbedaan antara bahasa pertama dengan bahasa kedua. Setelah mengetahui tingkat kesamaan dan perbedaan tersebut, maka dapat ditentukan strategi apa yang dapat digunakan untuk mengajarkan bahasa kedua.
e. Faktor Lingkungan
Faktor ini juga sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua. Dalam faktor ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu pengaruh lingkungan formal di sekolah dan lingkungan informal atau alamiah.
1) Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan formal adalah lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa (aspek-aspek linguistik) yang sedang dipelajari secara sadar dan disengaja. Sebenarnya, lingkungan formal bahasa bukanlah terbatas pada kelas, karena yang penting dalam pembelajaran bahasa tersebut dilakukan secara sadar dan mengetahui kaidah-kaidah bahasa kedua yang dipelajarinya, baik dari guru saat di dalam kelas, dari buku-buku, maupun orang lain di luar kelas. Yang terpenting, lingkungan tersebut menekankan pada penguasaan kaidah bahasa pada pembelajaran secara sadar.
2) Pengaruh Lingkungan Informal
Lingkungan ini bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang termasuk dalam lingkungan informal ini adalah bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa pengasuh atau bahasa orangtua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa para guru, baik di kelas maupun di luar kelas (Chaer, 2009)
F. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua
Ketika negara Republik Indonesia baru didirikan, yaitu pada awal 1950-an, banyak bangsa lain yang menyatakan kekagumannya terhadap bangsa Indonesia karena dua hal. Pertama, karena berbeda dengan negara lainnya, Indonesia merebut kemerdekaan dengan cara perjuangan fisik serta diplomasi yang cukup seru, sehingga melibatkan PBB dan negara-nagara maju lainnya. Kedua, karena bangsa Indonesia sejak awal sudah memiliki bahasa nasional sendiri, yaitu bahasa Indonesia (Rosidi, 2010: 51). Sementara itu, negara-negara lain seperti Filipina, India, dan malaysia tidak bisa menetapkan satu bahasa saja sebagai bahasa nasionalnya.
Berangkat dari fakta di atas, sepatutnya kita sebagai bangsa Indonesia bangga karena memilki bahasa sendiri, serta bahasa Indonesia merupakan bahasa satu-satunya yang diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi nasional. Kita tentu paham, bahwa bahasa Indonesia tidak berdiri sendiri di negara Indonesia, masih ada bahasa-bahasa daerah lain yang perlu dilestarikan. Bahkan ada yang mencatat, bahasa daerah di negara Indonesia mencapai 700 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bahasa daerah tidak ada yang menjadi bahasa nasional, tetapi kelestariannya dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Perspektif yang ada saat ini adalah bagimana bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua serta bahasa daerah sebagai bahasa pertama dapat hidup berdampingan tanpa adanya gangguan serta kerugian dalam masing-masing bahasa tersebut. Pada hakikatnya, bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Ketika kita berada dalam suatu wilayah heterogen yang terdapat orang-orang dari berbagai suku dan bahasa daerahnya, maka bahasa Indonesia hadir sebagai pemersatu. Selain itu, bahasa Indonesia juga sebagai bahasa resmi digunakan ketika saat forum-forum formal, rapat, sekolah, dsb. sehingga bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar resmi dalam menjalankan pemerintahan dan pendidikan (Soeparno, 2012).
Pengajaran bahasa Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira berusia 6 tahun) untuk bahasa nasional. Ini perlu, karena upaya dalam mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua perlu diajarkan sedini mungkin. Menurut Pei (dalam Chaer, 2010: 216), anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing. Dengan demikian, ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya.
Rosidi (2012) dalam seminarnya mengatakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang tidak disukai oleh para anak didik. Dalam Ujian Nasional ternyata bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang dianggap paling sukar oleh para anak didik sehingga hasilnya paling buruk. Kenyataan itu menunjukkan bahwa pelajaran bahasa nasional tidak mencapai sasaran.
Oleh karena itu, latihan terus-menerus merupakan salah satu alternatif untuk menguasai bahasa Indonesia. sehingga terbentuk suatu kebiasaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia seperti mempelajari bahasa pertama. Kalau pemerolehan bahasa kedua saja sudah banyak kesulitan akibat pengaruh bahasa pertama, bagaimana pula dengan proses bahasa ketiga, yaitu bahasa asing.
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 219), mengatakan bahwa dalam mempelajari bahasa kedua (baca: bahasa Indonesia) perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa pertama yang telah dikuasai dengan pola-pola bahasa Indonesia. Begitu juga dengan latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan.
G. Penutup
Proses belajar-mengajar bahasa, baik bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua, perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik yang dapat menentukan keberhasilan dalam proses mempelajari bahasa. Kedua variabel tersebut bukan merupakan hal yang terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.
Dalam pelajaran bahasa Indoneia, bukan saja kemampuan berbahasa para anak didik ditingkatkan, tetapi juga anak didik harus diajari sopan-santun dalam berbahasa. Para guru harus mengajari para anak didik bukan saja tentang arti kata-kata dan ungkapan (termasuk peribahasa), melainkan juga harus mengajari para anak didik tentang penggunaan bahasa dalam masyarakat. Para anak didik harus diberi tahu bahwa ada kata-kata yang tidak boleh digunakan dalam forum tertentu, ada kata-kata yang tak boleh dipergunakan terhadap orang yang lebih tua atau orang yang tidak dikenal. Pelajaran bahasa sekaligus merupakan pelajaran tata krama dan sopan santun.
Dengan demikian, bahasa Indonesia kelak menjadi bahasa yang sangat dikagumi dan menjadi bahasa yang berjaya di rumah sendiri serta disegani oleh bangsa-bangsa lain seperti pada awal-awal kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. San Fancisco: Pearson Longman.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Loenie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rosidi, Ajip. 2010. Bahasa Indonesia Bahasa Kita: Akan Diganti dengan Bahasa Inggris?. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2012. “Mengatasi Berbagai Masalah Bahasa Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional Kebahasaan diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-UNY, tanggal 27 Februari 2012 di Auditorium UNY Yogyakarta.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soeparno. 2012. “Akan Dibawa Ke Mana Baha(Ng)Sa Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional Kebahasaan diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-UNY, tanggal 27 Februari 2012 di Auditorium UNY Yogyakarta.
OPINI | 08 December 2012 | 23:07
Dibaca: 3844 Komentar: 0 0
Abstrak
Pengajaran bahasa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua. Ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan budaya. Salah satu unsur budaya yang dicetuskan oleh Koentjaraningrat yaitu bahasa. Indonesia memilki banyak bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari dasar ini, posisi bahasa Indonesia yang secara politis merupakan bahasa negara dan bahasa pemersatu bangsa memilki peran yang sangat startegis di samping mempertahankan bahasa-bahasa daerah.
Dalam bahasa pertama, seringkali terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dll. Sedangkan pada daerah-daerah lain masih bisa mempertahan bahasa daerahnya. Setidaknya terdapat beberapa pendekatan yang menunjang pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan, untuk pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua terdapat faktor-faktor penentunya.
Proses belajar-mengajar bahasa, baik bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua, perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik yang dapat menentukan keberhasilan dalam proses mempelajari bahasa. Kedua variabel tersebut bukan merupakan hal yang terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.
Kata Kunci: Pengajaran bahasa Indonesia, perspektif, linguistik, nonlinguistik.
A. Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, bahasa ini diciptakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, dan bahasa. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, setiap orang yang berasal dari daerah yang berbeda dapat saling memahami satu sama lain, karena mereka berkomunikasi menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Bayangkan bagaimana bahasa Indonesia tidak ada? Mereka sudah pasti akan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Bahasa Indonesia selain sebagai pemersatu, juga sebagai salah satu budaya Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa di kancah internasional
Bahasa Indonesia sendiri telah mengalami berbagai lika-liku serta memliki sejarahnya tersendiri. Meunurut Rosidi (2010: 9), sehari setelah proklamasi kemeredekaan tanggal 17 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemeredekaan Indonesia, disahkanlah konsep yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, menjadi UUD 1945, setelah dilakukan beberapa perubahan dan pencoretan. Di dalam UUD 1945 itu, tercantum dalam pasal 36, kedudukan bahasa Indonesia ditetapkan: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dipandang ke dalam dua perspektif. Yang pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, dan yang kedua, bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Tantangan muncul ketika pengajaran atau pemerolehan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di tengah-tengah upaya harus melestarikan bahasa pertama atau biasa disebut dengan bahasa ibu. Konon, jumlah bahasa ibu di negara kita ini paling banyak di seluruh dunia, artinya bahasa ibu yang terdapat di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang terdapat di negara-negara lain, yaitu lebih dari 700 macam bahasa.
Inilah yang membuat kita sebagai pemakai bahasa Indonesia dapat menempatkan diri, sehingga bahasa Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya tanpa melupakan bahasa daerah setiap daerah atau bahasa ibu. Fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bentuk upaya mempersatukan bangsa. Meskipun berbeda-beda dalam berbahasa daerah, namun semua itu dapat bersatu dengan menggunakan bahasa Indonesia.
B. Tipe pembelajaran Bahasa
Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 324), menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa, yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama, tipe naturalistik yaitu bersifat alamiah, tanpa guru, serta tanpa kesengajaan. Pembelajran dalam tipe ini terjadi dalam lingkungan suatu masyarakat. Seorang anak yang di dalam lingkungan keluarganya menggunakan bahasa pertama (B1), misalnya bahasa Jawa, begitu keluar rumah berjumpa dengan teman-temannya yang berbahasa lain, misalkan bahasa Indonesia, maka si anak tersebut akan berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kasus lain, terdapat dua mahasiswa dari Ambon, Alex dan Edo yang berkuliah di Yogyakarta. Pada awal kedatangannya di Yogyakarta, mereka belum bisa sama sekali berbahasa Jawa. Namun, karena orang-orang di sekitarnya menggunakan bahasa Jawa, maka mereka berdua berusaha belajar bahasa Jawa, meskipun pada awalnya bahasa Jawa mereka masih beraksen bahasa Ambon. Tetapi, setelah dua tahun berjalan, aksen bahasa Ambon sudah mulai berkurang. Jadi, belajar bahasa menurut naturalistik sama prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama, hanya saja proses berlangsungnya bersifat ilmiah, karena tuntutan, dan akhirnya terbiasa.
Tipe kedua, yaitu tipe formal berlangsung di dalam kelas. Berbeda dengan di atas, bahwa tipe ini seharusnya hasil yang diperoleh lebih baik dari tipe naturalistik, karena dalam tipe formal ini segalanya sudah dipersiapkan, dengan adanya guru, materi, alat-alat bantu belajar, dsb. Namun, kenyataan di negara ini berbicara lain. Berbagai penyebab telah teridentifikasi dan perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya sama saja. Kita lihat saja ketika Ujian Nasional diselenggarakan, dalam pelajaran Bahasa Indonesia sangat jarang ditemukan siswa yang memperoleh nilai sempurna. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain (baca: ilmu eksak), bahasa Indonesia kehilangan wibawanya sebagai bahasa sendiri dan bahasa unggulan. Menurut Chaer (2009: 244), kalau dilacak mengapa pendidikan bahasa zaman Belanda dulu “berhasil” sedangkan pendidikan bahasa kedua sekarang (bahasa Indonesia atau bahasa Inggris) tidak atau kurang berhasil, penyebabnya karena terletak pada faktor kedisiplinan. Pendidikan bahasa kedua pada zaman Belanda dilakukan oleh guru yang pandai berbahasa Belanda. Sedangkan pendidikan bahasa kedua pada masa kini dilakukan tanpa disiplin. Hadirnya berbagai jurusan dan fakultas yang didominasi ilmu bahasa seharusnya bisa meningkatkan mutu pendidik di masa mendatang.
C. Pemerolehan Bahasa Pertama
Bahasa pertama seringkali disebut dengan bahasa ibu. Penggunaan istilah bahasa ibu perlu mendapatkan koreksi karena dalam hal ini terdapat berbagai kasus yang pada akhirnya menggugurkan istilah bahasa ibu. Kasus yang sering terjadi yaitu di berbagai kota besar yang multilingual seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dsb. bahasa ibu bukanlah bahasa apa yang digunakan atau dikuasai oleh si ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan suami-istri yang memilki bahasa daerah yang berbada-beda, tapi si anak sudah tidak diajarkan lagi bahasa daerah (bahasa si ayah atau ibu), namun si anak sudah mulai diajarkan bahasa Indonesia. dengan demikian bahasa ibu atau bahasa pertama si anak adalah bahasa Indonesia, dan bukan bahasa yang digunakan oleh ibu bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.
Gelombang penelitian dalam pemerolehan bahasa anak-anak ini mendorong para guru bahasa dan pendidik untuk mempelajari beberapa temuan umum demi membuat perbandingan antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua (Brown, 2007: 26). Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa pendekatan yang menunjang pemerolehan bahasa pertama, yaitu pendekatan bahavioristik, Nativis, dan Fungsional.
1. Pendekatan Behavioristik
Menurut Brown (2007: 28), bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia, dan para psikolog behavioristik menelitinya dalam kerangka itu dan berusaha merumuskan teori-teori konsisten tentang pemerolehan bahasa pertama. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 (Bahasa Pertama) dan B2 (Bahasa Kedua) sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi ada pula yang tidak. Pendekatan behavioristik terfokus pada aspek-aspek yang dapat ditangkap langsung dari perilaku linguistik dan berbagai hubungan atau kaitan antara respon-respon itu dan peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Seorang behavioris memandang perilaku bahasa yang efektik sebagai wujud tanggapan yang tepat terhadap stimuli. Jika sebuah respon tertentu dirangsang berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah kebiasaan, atau terkondisikan.
Begitu juga jika dikaitakan dalam memperlajari bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Jika orangtua sama-sama bertutur bahasa Indonesia, begitu juga dengan teman-temannya, dan penyampaian bahasa Indonesia dalam sekolah. Maka, akan semakin terbiasa si anak tersebut sehingga dalam mempelajari bahasa Indonesia akan terkondisikan secara sendirinya.
2. Pendekatan Nativis
Istilah ini hadir, karena diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita (Brown, 2007: 30).
Teori ini juga mendapat dukungan dari tokoh linguistik terkenal, yaitu Noam Chomsky dengan alirannya transformasional. Menurut Soeparno (2002: 53), aliran transformasional merupakan reaksi dari paham strukturalisme. Karena konsep strukturalisme mensyaratkan bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit) seperti halnya dalam pendekatan behavioristik di atas.
Dalam pandangan Chomsky, dalam otak manusia terdapat sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau LAD (Language Acquisition Device). Mc Neill (dalam Brown, 2007: 31), memaparkan bahwa terdapat empat perlengkapan linguistik dalam LAD tersebut, yaitu kemampuan membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar; kemampuan menata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian; pengetahuan bahwa hanya jenis sistem linguistik tertentu yang mungkin sedangkan yang lain tidak; dan yang terakhir, kemampuan untuk terus mengevaluasi sistem linguistik yang berkembang untuk membangun kemungkinan sistem paling sederhana berdasarkan masukan linguistik yang tersedia. Berpegang pada LAD tersebut, para peneliti mulai berasumsi bahwa manusia secara genetik dilengkapi kemampuan yang memungkinkan mereka menguasai bahasa dengan mengajukan sebuah sistem kaidah bahasa universal.
3. Pendekatan Fungsional
Pendekatan terakhir ini menekankan bahwa kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh kaum nativis adalah abstrak, formal, eksplisit, dan sangat logis, tetapi baru bersentuhan dengan bentuk-bentuk bahasa dan tidak menghiraukan makna. Makna di sini merupakan tataran fungsional yang lebih mendalam yang terbangun dari interaksi sosial. Contoh bentuk dalam bahasa yaitu mulai dari fonem sampai dengan kalimat serta kaidah-kaidah yang mengaturnya.
Dalam hal ini, pendekatan ini lebih mengutamakan bahwa bahasa tersebut haruslah dikaitkan dengan konteks sosial yang bersifat pragmatis yang penuh dengan bentuk-bentuk. Seorang anak yang keseharian dirumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indoensia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan yang masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205).
D. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama
Dalam pengamatan umum, anak-anak adalah peniru yang baik. Segala sesuatu yang ia dilakukan adalah tiruan dari orang-orang di sekitarnya, senantiasa ia cermati dan kemudian akan ditirukan sama seperti apa yang dilihatnya. Begitu juga dengan bahasa, jika di dalam rumah menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, maka tidak heran si anak akan mudah meniru apa yang dikatakan oleh anggota keluarganya. Kita lihat saja di dalam kota-kota besar seperti Jakarta, anak-anak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama di samping orangtua mereka telah memilki bahasa pertama masing-masing.
Menurut Brown (2007: 47), tahap-tahap paling dini pemerolehan bahasa anak-anak memunculkan banyak sekali peniruan karena bayi mungkin tidak menguasai kategori-kategori semantik untuk memaknai ujaran. Namun, mereka memiliki rasa perhatian terhadap orang-orang di sekitar mereka, jadi mau tidak mau akan menirukan ujaran orangtuanya.
Proses belajar-mengajar bahasa di dalam kelas secara berturut-turut akan dijumpai 1) murid; 2) guru; 3) bahan pelajaran; dan 4) tujuan pengajaran. Keempat variabel tersebut memiliki hubungan fungsional dalam proses belajar-mengajar bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia. variabel-variabel tersebut menentukan keberhasilan belajar berbahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yaitu, ketika memang lingkungan tempat tinggal dan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lain pada saat di sekolahan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa serta upaya pelestarian dari bahasa nasional selayaknya harus dijunjung tinggi dan tidak ada rasa bosan apalagi jenuh dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis juga merupakan variabel yang dapat memengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205). Contohnya, ketika ada siswa yang keseharian di rumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran Bahasa Indonesia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya tidak menggunakan bahasa Indonesia.
E. Pemerolehan Bahasa Kedua
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 215), dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua (dan mungkin ketiga). Bahkan bahasa kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk asli pribumi). Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan).
1. Faktor-Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
Dari berbagai hipotesis yang berkembang, dapat ditentukan beberapa faktor yang dapat menentukan keberhasilan bahasa kedua, yaitu faktor motivasi, usia, penyajian formal, bahasa pertama, serta lingkungan.
a. Faktor Motivasi
Terdapat asumsi bahwa jika kita mau belajar suatu bahasa kedua, maka yang diperlukan adalah adanya dorongan, keinginan, atau tujuan yang hendak dicapai. Ini akan berbeda jika dibandingkan dengan orang yang tanpa lindasi dorongan, keinginan, serta tujuan atau motivasi. Menurut KBBI (2008), motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Jadi, pada dasarnya motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa dorongan yang datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan ia memilki keinginan yang kuat untuk mempelajari bahasa kedua.
Menurut Gardner dan Lambert (dalam Chaer: 2009: 251), motivasi memiliki dua fungsi yaitu, fungsi integratif dan instrumental. Fungsi integratif yaitu jika motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan, motivasi berfungsi instrumental adalah jika motivasi tersebut mendorong sesorang memilki kemauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada masyarakat bahasa tersebut.
b. Faktor Usia
Terdapat anggapan bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak-anak lebih baik dan berhasil dari pada orang dewasa (jika dimulai dari sama-sama nol). Ini membuktikan bahwa ternyata selain faktor motivasi, ternyata faktor usia juga ikut andil dalam keberhasilan mempelajari bahasa kedua. Anak-anak sepertinya lebih mudah untuk cepat memahami, sedangkan orang dewasa tampaknya lebih kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli (Chaer, 2009: 253), memperoleh kesimpulan bahwa faktor umur (usia) yang tidak dipisahkan dengan faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran bahasa kedua. Perbedaan umur memengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis, tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.
c. Faktor Penyajian Formal
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, bahwa dalam tipe pembelajaran bahasa terdapat dua jenis, yaitu secara naturalistik dan formal di dalam kelas. Dalam hal ini, faktor formal dalam pendidikan di sekolah akan sangat berpengaruh dalam hal pembelajaran bahasa kedua. Bahasa kedua bisa diorientasikan ke dalam bahasa Indonesia, bisa juga bahasa asing (jika bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama). Tipe ini berlangsung secara formal, artinya segala sesuatunya sudah dipersiapkan secara lebih baik. Dengan adanya guru, materi yang terorganisir, kurikulum, metode, media belajar, dsb.
Faktor ini memilki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan secara sengaja sehingga tujuan akan cepat terpenuhi. Menurut Rofi’udin (dalam Chaer: 2009: 256), menyatakan bahwa interaksi kelas merupakan bagian dari pembelajaran bahasa kedua secara formal dapat memberikan pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan bahasa kedua. Interaksi kelas, selain itu juga dapat mendukung proses penyerapan input menjadi intake.
d. Faktor Bahasa Pertama
Menurut Ellis (dalam Chaer, 2009: 256), para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu, bahasa daerah, atau bahasa yang sebelumnya diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar. Hal ini karena didasarkan oleh sikap pembelajar yang secara sadar maupun tidak, telah melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, sering terjadi interferensi, alih kode, atau campur kode.
Dalam pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Menurut Chaer (2010), masalah ini mungkin tidak terlalu berat, kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih tergolong bahasa serumpun (secara genetis) tetapi akan merupakan masalah besar kalau bahasa kedua itu tidak serumpun dengan bahasa pertama. Lebih lagi jika bahasa kedua itu memilki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan bahasa pertama.
Menurut teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh kaum bahaviorisme, bahasa adalah hasil dari perilaku stimulus-respon. Jadi, bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar sekali apabila si pembelajar tidak terus-menerus diberikan stimulus bahasa kedua. Secara teoritis pengaruh ini memang tidak bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah merupakan merupakan intake atau sudah “dinuranikan” dalam diri si pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasaan dan pemberi stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, maka pengaruh itu bisa dikurangi (Chaer, 2010).
Yang selanjutnya, adalah teori kontrastif. Dalam teori ini dikatakan bahwa keberhasilan sebuah pembelajaran bahasa kedua ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar (Klein, dalam Chaer, 2009: 256). Teori kontrastif mengisyaratkan bahwa semakin besar perbedaan antara linguistik bahasa pertama dengan linguistik bahasa kedua, maka semakin besar kesulitan yang dihadapi si pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua. Melalui teori ini, maka dapat diketahui tingkat kesamaan dan perbedaan antara bahasa pertama dengan bahasa kedua. Setelah mengetahui tingkat kesamaan dan perbedaan tersebut, maka dapat ditentukan strategi apa yang dapat digunakan untuk mengajarkan bahasa kedua.
e. Faktor Lingkungan
Faktor ini juga sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua. Dalam faktor ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu pengaruh lingkungan formal di sekolah dan lingkungan informal atau alamiah.
1) Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan formal adalah lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa (aspek-aspek linguistik) yang sedang dipelajari secara sadar dan disengaja. Sebenarnya, lingkungan formal bahasa bukanlah terbatas pada kelas, karena yang penting dalam pembelajaran bahasa tersebut dilakukan secara sadar dan mengetahui kaidah-kaidah bahasa kedua yang dipelajarinya, baik dari guru saat di dalam kelas, dari buku-buku, maupun orang lain di luar kelas. Yang terpenting, lingkungan tersebut menekankan pada penguasaan kaidah bahasa pada pembelajaran secara sadar.
2) Pengaruh Lingkungan Informal
Lingkungan ini bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang termasuk dalam lingkungan informal ini adalah bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa pengasuh atau bahasa orangtua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa para guru, baik di kelas maupun di luar kelas (Chaer, 2009)
F. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua
Ketika negara Republik Indonesia baru didirikan, yaitu pada awal 1950-an, banyak bangsa lain yang menyatakan kekagumannya terhadap bangsa Indonesia karena dua hal. Pertama, karena berbeda dengan negara lainnya, Indonesia merebut kemerdekaan dengan cara perjuangan fisik serta diplomasi yang cukup seru, sehingga melibatkan PBB dan negara-nagara maju lainnya. Kedua, karena bangsa Indonesia sejak awal sudah memiliki bahasa nasional sendiri, yaitu bahasa Indonesia (Rosidi, 2010: 51). Sementara itu, negara-negara lain seperti Filipina, India, dan malaysia tidak bisa menetapkan satu bahasa saja sebagai bahasa nasionalnya.
Berangkat dari fakta di atas, sepatutnya kita sebagai bangsa Indonesia bangga karena memilki bahasa sendiri, serta bahasa Indonesia merupakan bahasa satu-satunya yang diakui keberadaannya sebagai bahasa resmi nasional. Kita tentu paham, bahwa bahasa Indonesia tidak berdiri sendiri di negara Indonesia, masih ada bahasa-bahasa daerah lain yang perlu dilestarikan. Bahkan ada yang mencatat, bahasa daerah di negara Indonesia mencapai 700 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bahasa daerah tidak ada yang menjadi bahasa nasional, tetapi kelestariannya dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Perspektif yang ada saat ini adalah bagimana bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua serta bahasa daerah sebagai bahasa pertama dapat hidup berdampingan tanpa adanya gangguan serta kerugian dalam masing-masing bahasa tersebut. Pada hakikatnya, bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Ketika kita berada dalam suatu wilayah heterogen yang terdapat orang-orang dari berbagai suku dan bahasa daerahnya, maka bahasa Indonesia hadir sebagai pemersatu. Selain itu, bahasa Indonesia juga sebagai bahasa resmi digunakan ketika saat forum-forum formal, rapat, sekolah, dsb. sehingga bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar resmi dalam menjalankan pemerintahan dan pendidikan (Soeparno, 2012).
Pengajaran bahasa Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira berusia 6 tahun) untuk bahasa nasional. Ini perlu, karena upaya dalam mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua perlu diajarkan sedini mungkin. Menurut Pei (dalam Chaer, 2010: 216), anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing. Dengan demikian, ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya.
Rosidi (2012) dalam seminarnya mengatakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang tidak disukai oleh para anak didik. Dalam Ujian Nasional ternyata bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang dianggap paling sukar oleh para anak didik sehingga hasilnya paling buruk. Kenyataan itu menunjukkan bahwa pelajaran bahasa nasional tidak mencapai sasaran.
Oleh karena itu, latihan terus-menerus merupakan salah satu alternatif untuk menguasai bahasa Indonesia. sehingga terbentuk suatu kebiasaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia seperti mempelajari bahasa pertama. Kalau pemerolehan bahasa kedua saja sudah banyak kesulitan akibat pengaruh bahasa pertama, bagaimana pula dengan proses bahasa ketiga, yaitu bahasa asing.
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 219), mengatakan bahwa dalam mempelajari bahasa kedua (baca: bahasa Indonesia) perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa pertama yang telah dikuasai dengan pola-pola bahasa Indonesia. Begitu juga dengan latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan.
G. Penutup
Proses belajar-mengajar bahasa, baik bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua, perlu diperhatikan beberapa variabel, seperti yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik yang dapat menentukan keberhasilan dalam proses mempelajari bahasa. Kedua variabel tersebut bukan merupakan hal yang terpisah atau berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, serta berpengaruh.
Dalam pelajaran bahasa Indoneia, bukan saja kemampuan berbahasa para anak didik ditingkatkan, tetapi juga anak didik harus diajari sopan-santun dalam berbahasa. Para guru harus mengajari para anak didik bukan saja tentang arti kata-kata dan ungkapan (termasuk peribahasa), melainkan juga harus mengajari para anak didik tentang penggunaan bahasa dalam masyarakat. Para anak didik harus diberi tahu bahwa ada kata-kata yang tidak boleh digunakan dalam forum tertentu, ada kata-kata yang tak boleh dipergunakan terhadap orang yang lebih tua atau orang yang tidak dikenal. Pelajaran bahasa sekaligus merupakan pelajaran tata krama dan sopan santun.
Dengan demikian, bahasa Indonesia kelak menjadi bahasa yang sangat dikagumi dan menjadi bahasa yang berjaya di rumah sendiri serta disegani oleh bangsa-bangsa lain seperti pada awal-awal kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. San Fancisco: Pearson Longman.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Loenie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rosidi, Ajip. 2010. Bahasa Indonesia Bahasa Kita: Akan Diganti dengan Bahasa Inggris?. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2012. “Mengatasi Berbagai Masalah Bahasa Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional Kebahasaan diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-UNY, tanggal 27 Februari 2012 di Auditorium UNY Yogyakarta.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soeparno. 2012. “Akan Dibawa Ke Mana Baha(Ng)Sa Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional Kebahasaan diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS-UNY, tanggal 27 Februari 2012 di Auditorium UNY Yogyakarta.